Pembagian Hadist
Bab I
PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG
Pada
awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadits dikawatirkan
bercampur baur dengan Al-Qur’an. Perintah untuk melukiskan hadits pertama kali
oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan
hadits adalah Arraby Bin Sobiy dan Said Bin Abi Rabah, akan tetapi pengumpulan
hadits tersebut masih acak (tercampur antara hadits shahih dengan hadits
dha’if.
Sebagian
orang bingung melihat jumlah hadits yang banyak dan beragam, tetapi kebingungan itu
kemudian menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ditinjau dari
berbagai segi.
Hadits
memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki
pembahasan tersendiri.
Dalam makalah ini akan dikemukakan
pembagian hadits ditinjau dari kualits dan kuantitas parawinya.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa saja pembagian hadits ditijau dari segi
kualitasnya?
2.
Apa saja pembagian hadits ditijau dari segi
kuantitas parawinya?
C. TUJUAN
MAKALAH
1)
Untuk mengetahui pembagian hadits ditijau dari segi
kualitasnya.
2)
Untuk mengetahui pembagian hadits ditijau dari segi
kuantitas parawinya.
Bab ii
Pembahasan
A. Pembagian Hadits
sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama
hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan
ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan
hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai
berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini disponsori oleh sebagian ulama
ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan
ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan
ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan
hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits
Mutawatir
a. Pengertian
Hadits Mutawatir
Secara
etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak).
Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat (Dalam Bahasa Thabaqat diartikan yaitu kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut Istilah Thabaqat
yaitu kaum yang berdekatan atau yang sebaya dalam usia dan dalam isnad atau
dalam isnad saja.) yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ
جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ
تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan
orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat
berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat
dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama
mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan
ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya
suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam
hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
b. Syarat
Hadits Mutawatir
1.
Hadits
Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka
tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah
minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang
mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10
orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai
ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2.
Adanya
keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu
persyaratan.
3.
Berdasarkan
tanggapan pancaindra. Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera.
Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau
rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain,
maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama,
contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut
Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir
yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang
berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi
lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW
mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال
ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا
فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat
kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat
melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits
Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian
diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai
sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya,
shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi
ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits
mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan
Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat
mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir
(termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn
Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya
harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat
perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat
berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai
berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun
oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang
disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)
2. Hadits ahad
Kata ahad
merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi,
kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan.
Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang
perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk
dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah
hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu
masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
Ø Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا
يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang
setelah mereka.”
Hadits masyhur
ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus
shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun
matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan
hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti
hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya,
seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ
مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
·
Dilihat
dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a
atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
·
Masyhur
dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ
مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
·
Masyhur
dikalangan ahli fiqh, seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
·
Masyhur
dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
اِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ
فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ
أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan
kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan
pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala (pahala Ijtihad).
·
Masyhur
dikalangan ahli Sufi, seperti :
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ
فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku.
Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang
Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
Ø Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli
hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib.
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau
jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak
kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat
terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu,
ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan
hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya,
tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits
‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada
dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”
(menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan
oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri
itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut,
atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan
keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang
juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias
terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
B. Pembagian
hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana
telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang yaqin
bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan
taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang
banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya
sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa
perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan
hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan
kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap
matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah
diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits
dhaif.
1. Hadits
shahih
Menurut bahasa
berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli
memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
• Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang
sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith
dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan
tidak ber’illat”.
• Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak
syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah :
1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat
dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits
Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama
memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat
sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ
الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ
لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
khabar ahad yang diriwayatkan oleh
orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat,
dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya
disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan
adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ
الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
Hadits hasana adalah hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama
dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya.
Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan
dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits
shahih.
b. Contoh
hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari
Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi
Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ
اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian itu.
c.
Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun
terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih
ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ
طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama
atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ
وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits dhaif jika
berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya
perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat
dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat
yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau
lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan
fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak
diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan
hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih.
Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit
dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits
(musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan
shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits
Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari
Al-Qawi (القوي)
yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak
memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah
hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ
بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa
syarat yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias
diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ
وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan
baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi
(‘Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh
hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari
Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ
أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari
jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat
seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar
: فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
c. Hukum
periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits
dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya
hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’
perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif
sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal
dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib
(hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam)
kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni
majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : رُوِيَ diriwayatkan,
نُقِلَ
dipindahkan, فِيْمِا
يُرْوِيَ pada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan
karena berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan
hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik
dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang
diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama
ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu
hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam
Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para
ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal,
mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh
Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
• Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta
(hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat
hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan
atau perbuatan (hadits mungkar).
• Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih)
seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits
lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah
(hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
• Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi,
tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
e. Tingkatan
hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak
terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk
kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut
Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal,
mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
Belum ada Komentar untuk "Pembagian Hadist"
Posting Komentar