Pemerintahan dalam kacamata aswaja

Kata pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, shalawat serta salam senantiasa tercurah kapada Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Berkat kudrat dan idarat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah “Aswaja Dalam Kehidupan Bangsa” . Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Aplikasi Komputer. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, bimbingan dan arahan kepada penyusun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para pembaca para umumnya.
Apabila ada kekurangan dan kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf dan kami mengharapkan kritik dan saran dari Dosen dan teman-teman sekalian. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita semua tentang Aswaja Dalam Kehidupan Bangsa.


Purwosari, 17 November 2016




Pendahuluan

Latar belakang
Rumusan masalah
1.      Jelaskan pengertian aswaja!
2.     Jelaskan pemerintahan dalam kacamata aswaja dan aplikasinya dalam kehidupan bangsa!
3.      Sebutkan bentuk organisasi aswaja di indonesia!
4.      Apakah peranan NU dalam kehidupan bangsa?
           
Tujuan makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian aswaja
2.      Untukmengetahui pemerintahan dalam kacamata aswaja dan aplikasinya dalam kehidupan bangsa
3.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk organisasi aswaja di indonesia
4.      Untuk mengetahui peranan NU dalam kehidupan bangsa



Pembahasan
A.    Pengertian ASWAJA
Dari segi bahasa, Ahlussunnah (ahl-u s-sunnah) berarti penganut i’tikad (i’tiqâd) atau Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sedangkan Ahluljama’ah (ahl-u l-jamâ’ah) berarti penganut i’tikad jama’ah yaitu para sahabat Nabi. Karena itu, kaum Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)/ahl-u s-sunnah wa l-jamâ’ah ialah kaum yang menganut i’tikad Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya.
I‘tikad dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara terpencar-pencar, tetapi kemudian dikumpulkan dan disistematisasikan oleh seorang ulama besar ushuluddin, yaitu Syeikh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari  (lahir di Basrah tahun 260 dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun).
Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya “Nasy`at-u l-Asy’ariyyah wa Tathawwurihâ”, istilah Ahlussunnah Waljama’ah mengandung dua pengertian : âmm (umum) dan khâshsh (khusus). Ahlussunnah Waljama’ah secara umum merupakan sebutan bagi kelompok pembanding kaum Syi’ah. Dalam konteks ini, kaum Mu’tazilah seperti halnya Asya’irah (Asy’ariyah), termasuk di dalamnya. Sedangkan dalam pengertian khusus, Ahlussunnah Waljama’ah berarti kelompok Asya’irah (pengikut madzhab Imam Abu Al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam.
Dr. Ahmad Abdullah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husain dari Universitas Al-Azhar berpendapat bahwa Ahlussunnah Waljama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt. dan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw., mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dalam praktek serta menggunakannya sebagai manhaj (metode berpikir dan cara bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari).
Dalam QS. Al-Hasyr [59] : 7, disebutkan :
“… dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah… ”.

Berbicara mengenai Aswaja pada dasarnya berbicara tentang Islam itu sendiri. Sebab, konsep yang dikembangkan Aswaja tidak terlepas dari konsep Islam yang sebenarnya yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam konteks pendidikan, pengkajian Aswaja meliputi: sejarah Aswaja, akidah, fiqh/ibadah dan akhlak. Berbagai aspek tersebut merupakan landasan bagi terwujudnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Allah Swt., diri sendiri, sesama manusia dan makhluk lainnya, atau yang dalam konsep Al-Qur’an dikenal denganhabl-u min-a Llâh wa habl-um min-a n-nâs.
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
a. Tawasuth (Moderat)
Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Terjemah : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Albaqarah: 143)
b. Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Terjemah : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS. Alhadid: 25)
c. Ta'âdul (Netral dan Adil)
Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul(keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasrkan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Terjemah :”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Alma'idah: 9)
d. Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.
Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt. berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah(persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah(persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah swt.:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)

B.     PENGERTIAN BANGSA
Secara umum, Pengertian Bangsa adalah kumpulan manusia yang biasa terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi. Dalam bahasa inggirs, bangsa beradal dari kata nation. Nation yang berarti bangsa, wangsa atau trah (jawa). Bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang menempati kepulauan Nusantara, memiliki kesamaan watak, cita-cita moral, dan cita-cita hukum yang terikat menjadi satu karena keinginan dan pengalaman sejarah. Kamur Besar Bahasa Indonesia (BBI), Pengertian bangsa adalah orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah, serta berpemerintahan sendiri.   

1. Pengertian Bangsa dalam Arti Sosiologi Antropologis dan Arti Politis
- Dalam pengertian bangsa terbagi atas dua yaitu pengertian bangsa secara sosiologi antropologis dan politis antara lain sebagai berikut...
  • Pengertian Bangsa dalam Arti Sosiologis Antropologis : Pengertian bangsa adalah persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan setiap anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, dan istiadat. Persekutuan hidup, artinya perkumpulan orang-orang yang saling membutuhkan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam satu wilayah tertentu. Persekutuan hidup dalam satu negara yang jumlah warga banyak atau lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan persektuuan hidup yang lain, seperti persekutuan hidup masyarakat Jawa. Persekutuan yang dimiliki warga sedikit atau lebih kecil dibanding dengan yang lain, seperti masyarakat suku Badui. 
  • Pengertian Bangsa dalam Arti Politis : Pengertian bangsa adalah suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dan mereka yang tunduk kepada penguasa yang ada. Jadi, bangsa dalam arti politik adalah bangsa yang mempunyai kepeningan, nasib, dan tujuan yang sama (politis). Dalam arti inilah yang memunculkan paham nasionalisme atau semangat kebangsaan. Selain dari itu bangsa juga berasal dari orang-orang yang memiliki kesamaan latar belakang sejarah, penglaman, dan perjuangan dalam mencapai hasrat untuk bersatu. 
2. Pengertian Bangsa Menurut Definisi Para Ahli - Terdapat beberapa ahli yang telah mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian bangsa antara lain sebagai berikut.. 
  • Ernes Renant : Menurut Ernes Renant, pengertian bangsa adalah suatu nyawa, suatu akal yang terjadi dari dua hal, yaitu rakyat yang harus bersama-sama menjalankan satu riwayat, dan rakyat yang kemudian harus mempunyai kemauan atau keinginan hidup untuk menjadi satu. 
  • Hans Kohn : Menurut Hans Kohn menyatakan bahwa bangsa dapat terjadi karena adanya persamaan ras, bahasa, adat istiadat, dan agama yang merupakan faktor pembeda bangsa yang satu dengan yang lainnya. 
  • Otto Bauer : Menurut Otto Bauer, Pengertian bangsa adalah adanya suatu persamaan, karakter, suatu watak, dimana karakter atau watak itu tumbuh dan lahir karena adanya persatuan pengalaman. 
  • Ir. Soekarno : Menurut Ir. Soekarno, Pengertian bangsa adalah segerombolan manusia besar, keras ia mempunyai keinginan bersatu, keinginan untuk hidup bersama, memiliki persamaan nasib, watak, dan hidup diatas satu wilayah yang nyata satu unit. 
3. Ciri - Ciri Bangsa - Berdasarkan pengertian bangsa tersebut, bangsa memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut.. 
  • Sekelompok manusia yang memiliki rasa kebersamaan (self belonging together
  • Memiliki wilayah tertentu tetapi belum memiliki pemerintahan sendiri
  • Ada kehendak bersama untuk membentuk atau berada dibawah pemerintahan yang dibuatnya sendiri
  • Keanggotaan orangnya bersifat kebangsaan/nasionalitas
  • Tidak ditentukan secara pasti waktu kelahirannya, seperti suku bangsa Betawi yang tidak diketahui secara pasti kapan mulai ada/muncul suku bangsa betawi itu
  • Dapat terjadi karena adanya kesamaan dalam identitas budaya, agama, bahasa sehingga dapat membedakan bangsa alainnya. Bangasa tersebut memunculkan bangsa yang homogen. 
4. Unsur-Unsur Terbentuknya Bangsa - Sebagaimana yang dikemukakan oleh Otto Bauer bahwa terbentuknya bangsa karena adanya persamaan senasib atau dapat dikatakan bahwa bangsa juga dapat terbentuk dari nilai yang solidaritas dari semua prang yang tinggal dalam satu kelompok. Ratzel mengemukakan bahwa bangsa dapat terjadi bentuk karena adanya hasrat atau keinginan bersatu karena kesamaan tempat tinggalnya (bangsa secara geopolitik).  Friederch Hertz, menyatkaan bahwa unsur terbentuknya suatu bangsa adalah sebagai berikut..
  • Adanya keinginan atau hasrat untuk bersatu secara sosial, ekonomi, politik, budaya, dan komunikasi, urusan dalam negeri
  • Adanya keinginan dalam menunjukkan karakteristik sendiri melalui kemandirian, keaslian, kelebihan, bahasa, dan lain-lain. 
  • Adanya hasrat dalam menunjukkan keunggulan dari dalam kerja sama antarbangsa

C.     PEMERINTAHAN DALAM KACAMATA ASWAJA DAN APLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN BANGSA
Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagaiwasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan —sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.
Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga sebagaimana mengurus jenazah  jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.
Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:
a. Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:
فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
Terjemah :”Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri”.
Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba’ir), memberi ma’af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-’Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa’ 4:58

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
Terjemah :“Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”.
c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak-hak tersebut dalam syari’at dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan.Kelima prinsip tersebut adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul ‘lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian  dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil society) sebagai amanat dari Allah.
Harus kita akui, bahwa istilah “demokrasi” tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.
Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi “perkampungan dunia”, maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidahbukanlah merupakan satu-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran tersebut pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath’iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.

D.    BENTUK ORGANISASI ASWAJA DI INDONESIA

1.      Masuknya Islam ke Indonesia
Sejumlah ilmuan Belanda, memegang teori bahwa asal muasal Islam di Indonesia adalah Anak Benua India, bukanya Persia atau Arabia. Salah satunya adalah Pijnapel dari Universitas Leiden. Dia mengatakan asal Islam di Indonesia dari wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya adalah orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang menetap di India yang membawa Islam ke Indonesia.
Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan, banyak diantara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab, kebanyakan dari mereka adalah keturunan Nabi Muhammad. Karena manggunakan gelar sayyid atau syarif, yang menyelesaikan penyebaran Islam di Indonesia. Dan hal ini terjadi pada sekitar abad ke-12.
Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang dengan kapal dari Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang wafat pada 698/1297. seabad kemudian seorang penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayyid Abd. Al-Aziz, sorang Arab dari Jeddah. Seorang penguasa itu Parameswara mengambil gelar Mohammad Syah.

Kebanyakan sarjana barat juga memegang teori bahwa penyebar agama Islam tersebut melakukan pekawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan keluarga muslim ini, maka nukleus komunitas muslim pun tercipta, yang pada waktunya nanti mempunyai andil yang besar buat perkembangan Islam di Nusantara. Selanjutnya para pedagang ini melakukan perkawinan dengan bangsawan lokal sehingga mereka atau keturunanya memperoleh kekuasaan di dunia politik, untuk penyebaran agama Islam.

Oleh karena pertumbuhan Islam pertama oleh para pedagang, maka pertumbuhan komunitas Islam muncul di daerah pesisir Sumatra, jawa dan pulau lainya. Kerajaan Islam pertama juga muncul didaerah pesisir. Demikian halnya kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar. Menjelang akhir abad ke 17, Islam sudah hampir merata di Nusantara.

Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’. Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau. Kemudian mereka juga membuat karya-karya yang tersebar dan di baca di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya itu menunjukan pemikiran islam di Indonesia masa itu. Abad 16-17, merupakan masa –masa kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika dan teologi rasional yangtidak ada tolok bandingnya dimana-mana di zaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika tradisi kebudayaan Islam sedang berkembang di Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu telah mapan. Bahkan disana terkenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran karena di galakkanya taklid. Dunia pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
2.      Gerakan Modern Islam
       Pembaharuan Islam atau gerakan modern Islam merupkan jawaban yang ditunjukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke 17, melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab Imperium. Yag terpenting diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kearah pmbaruan yang bernuansa intelektual.

Katalisator terkenal dari gerakan pembaharuan ini adalah Jamaludin Al-Afgani (1897). Ia mengajarkan solidaritas pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali ke Islam dalam suasana yang secara ilmiah di modernsasi.

3.      NU dan ASWAJA
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam ‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.
‘Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak.”.
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :

Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.
    Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW, meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.
   
   Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti : tekun beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat & mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.

4.      Kyai Hasyim Asy’ari dan NU : Pejuang Syariah

Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”

Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.

Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.

Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah. Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam.

E.     PERANAN NU DALAM KEHIDUPAN BANGSA
Nahdlatul Ulama (NU)  organisasi yang sudah memiliki pengalaman dan sejarah panjang dalan memberikan pelayan terhadap masyarakat Indonesia.   NU ikut mengarsiteki pembangunan sumber daya manusia pada masyarakat melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan keagamaan pada masyarakat tradisional atau pedesaan. Sehingga sebenarnya bisa dikatakan jika menilai dari bentuk basis masyarakat yang diberdayakan, maka NU memiliki beban lebih berat. Hal ini tak lepas dari mayoritas penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan buruh adalah masyarakat menengah kebawah.
              Dari aspek tersebutlah peran NU sebagai agen gerakan pemberdayaan masyarakt sipil harus terus memiliki strategi dalam mengupayakan peningkatan-peningkatan ketahanan ekonomi masyarakat. Namun tentunya gaya NU dalam memberikan pelayanan dan mendampingi masyarakat dalam memperoleh hak-haknya dari kekuasaan negara tak melepaskan dari prinsip aqidah ahlusunnah wal jama’ah  (aswaja). Posisi ini tetap akan menjadikan perjuangan NU dalam mewujudkan kebaikan masyarakat (Khoiron Ummah). Apalagi platform yang menjadi landasan semangat perjuangan sebagai gerakan sosial-keagamaan adalah Islam. Dengan konsep pemahaman Islam sebagai agama fitrah dan rahmat bagi semesta alam tentunya tidak hanya mengurusi hubungan masyarakat muslim (ukhwah Islamiyah) tapi juga hubungan antar manusia (ukhuwah bashariyah).


2.    Peran NU di Pendidikan
        Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan tanggung jawab dan harmonisasi. Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.
       
Gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal seperti pesantren.
       
Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
           
Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :

1)    Visi
a.   Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan teknologi 
      serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b.   Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab
      dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah.
c.   Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan inovatif
      dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.

2)    Misi
a.   Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola
      masyarakat.
b.   Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat komponen
      bangsa.
        Selain sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah. Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama. Para lulusan pesantren tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.

        Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :
a.    Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
b.    Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
c.    Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan
       ekspresi).
d.   Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.
        Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.

3.   Peran NU di Bidang Sosial dan Budaya
        Sejak didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H, NU lebih banyak berbaur dengan masyarakat bawah di pedesaan. Sehingga tidak heran bila NU lekat dengan bahasa tradisional. Meski sekarang ini terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan, sebagai respon NU terhadap perkembangan dunia modern. Namun NU tetaplah organisasi yang getol mempertahankan tradisi-tradisi Nusantara, asalkan manfaatnya jelas dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai keislaman. Salah satu contoh konkret yang bisa kita lihat sampai saat ini adalah budaya tahlilan. Meski ormas-ormas lain gencar menuduh tahlilan bi’dah, karean tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, namun NU tetap kuat dengan perinsipnya, selama mengandung maslahah bagi masyarakat dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai ke-Islaman, tanpa masalah.

        Pada sejarah Nusantara masa lalu, tahlilan berasal dari upacara pribadatan (selamatan) yang dilakukan nenak moyang bangsa Indonesia yang mayoritas dari mereka adalah penganut agama Hindu dan Budha. Upacara tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan do’a kepada orang yang telah meninggal dunia. Namun secara praktis tahlilan yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu dengan tahlilan yang dilakukan oleh warga NU jauh berbeda, yakni menganti semua bacaan upacara selamatan tersebut dengan bacaan-bacaan-bacaan Al-Quran, Shalawat dan dzikir-dzikir kepada Allah SWT. Manfatnya, selain mendekatkan diri kepada Allah SWT. budaya tahlilan juga merekatkan relasi sosial masyarakat. Itu hanya salah satu contoh bahwa NU begitu menghargai kebudayaan Nusantara. Selama mengandung maslahah dan bisa diselaraskan dengan ajaran Islam, kebudayaan apapun harus tetap dipertahankan. Sebab kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang harganya begitu mahal.

        Di tengah kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat, NU harus mampu memainkan perannya secara siginifikan di bidang kebudayaan. Agar aset-aset kekayaan bangsa Indonesia tidak tergerus oleh budaya global yang notabene banyak dipengaruhi budaya-budaya Barat. Terutama menyangkut kerekatan relasi sosial antarsesama bangsa. Kemajuan teknologi yang begitu pesat menjadi ancaman serius bagi budaya silaturrahim yang sejak dulu telah membudaya di bumi Nusantara. Komunikasi melalui HP, Facebook, Twiter dan yang sejenis, perlahan tapi pasti telah merusak tatanan kebudayaan Nusantara. Meski secara jujur kita akui ada hal positifnya. Hanya saja jangan sampai kita terlelap dalam gelamur kebudayaan modern, sehingga lupa akar kebudayaan Nusantara yang mestinya kita lestarikan. Hal mendasar yang begitu terasa jauh saat ini dari realitas dilingkungan kita adalah budaya gotong royong. Dulu budaya ini mengakar kuat dalam tradisi Nusantara. Sekarang hanya tinggal kenangan, sebab masyarakat sibuk dengan ambisi individualismenya masing-masing dan mengukur segalanya dengan upah (uang). Di desa sekalipun kita sangat sulit menemukan budaya gotong royong dilakukan oleh warga. Sementara gotong royong dahulu begitu akrab didengar di pedesaan. Suatu contoh, di masa lalu orang desa yang hendak memperbaiki kandang hewan peliharaan hanya butuh kentongan sebagai alat bunyi yang menandakan bahwa keluarga tersebut sedang butuh bantuan, sehingga ketika kentongan tersebut bunyikan warga datang berhamburan untuk membantunya. Kemudian mereka berbaur bersama begitu akrab tanpa tanpa berharap upah. Sekarang budaya seperti itu sudah tidak jarang kita temukan dalam dunia modern ini. Pada masa modern ini masyarakat cenderung individualistis yakni lebih mementingkan kepentingan diri sendiri.

        Oleh karena itu, NU sebagai organisasi sosial keagamaan harus bisa memainkan perannya secara signifikan dalam rangka menjaga dan melestarikan kebudayaan Nusantara. Jangan sampai aset kebudayaan yang begitu banyak dimiliki Indonesia di masa lalu hilang ditelan globalisasi budaya. Negara kita dikenal dengan negara multikultural, kita tidak ingin julukan ini hanya manis di masa lalu, namun sekarang kita hanya gigit jari karena kelalaian dalam menjaga kebudayaan tersebut.

5.   Peran NU di Bidang Negara
        Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya. Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.

                Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1)    Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar  
       reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
       2)   Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali
             ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan
             sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
       3)   Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau
             terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4)   Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan
      hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya
      pemaksaan kehendak.
5)   Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan ber-
      tanggung jawab.
6)   TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7)    Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada 
       kelompok tertentu.
       8)    Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap
              praktik ekonomi.

                Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja. Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.

                Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1)   Menghimbau  kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan 
      pesatuan bangsa.
2)   Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga  
       perwakilan  sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3)   Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam
      proses pembangunan bangsa.

4)  Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan 
     datang.
5)  Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6)  Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal   
     pernyataan ini dibacakan.
7)  Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan
     kroni-kroninya.
8)  Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa

                Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.



Penutup

Kesimpulan
Dari segi bahasa, Ahlussunnah (ahl-u s-sunnah) berarti penganut i’tikad (i’tiqâd) atau Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sedangkan Ahluljama’ah (ahl-u l-jamâ’ah) berarti penganut i’tikad jama’ah yaitu para sahabat Nabi. Karena itu, kaum Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)/ahl-u s-sunnah wa l-jamâ’ah ialah kaum yang menganut i’tikad Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya.
Secara umum, Pengertian Bangsa adalah kumpulan manusia yang biasa terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi. Dalam bahasa inggirs, bangsa beradal dari kata nation. Nation yang berarti bangsa, wangsa atau trah (jawa). Bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang menempati kepulauan Nusantara, memiliki kesamaan watak, cita-cita moral, dan cita-cita hukum yang terikat menjadi satu karena keinginan dan pengalaman sejarah. Kamur Besar Bahasa Indonesia (BBI), Pengertian bangsa adalah orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah, serta berpemerintahan sendiri.
Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagaiwasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk.
Sejumlah ilmuan Belanda, memegang teori bahwa asal muasal Islam di Indonesia adalah Anak Benua India, bukanya Persia atau Arabia. Salah satunya adalah Pijnapel dari Universitas Leiden. Dia mengatakan asal Islam di Indonesia dari wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya adalah orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang menetap di India yang membawa Islam ke Indonesia.
Nahdlatul Ulama (NU)  organisasi yang sudah memiliki pengalaman dan sejarah panjang dalan memberikan pelayan terhadap masyarakat Indonesia.   NU ikut mengarsiteki pembangunan sumber daya manusia pada masyarakat melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan keagamaan pada masyarakat tradisional atau pedesaan. Sehingga sebenarnya bisa dikatakan jika menilai dari bentuk basis masyarakat yang diberdayakan, maka NU memiliki beban lebih berat. Hal ini tak lepas dari mayoritas penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan buruh adalah masyarakat menengah kebawah.



Daftar pustaka

Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta : 2006.

Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.

Sunardi H.S, Bambang Tri Purwanto. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas. Jakarta : Global. Hal : 3-5.

Listyarti, Retno. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA dan MA Kelas X. Jakarta : Esis. Hal : 4-5

http://indonesianislamicmedia.blogspot.co.id/2013/08/sejarah-perkembangan-aswaja-di-indonesia.html


Belum ada Komentar untuk "Pemerintahan dalam kacamata aswaja "

Posting Komentar

Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel